Biografi Imam Nawawi al-Bantani

BIOGRAFI

 Syeikh Nawawi al-Bantani

oleh Husnul Amilin, mahasiswa STFI Sadra

Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang.[1] Dari beberapa referensi yang penulis baca, terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syeikh Nawawi al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syeikh Nawawi ini dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun  kelahirannya saja yaitu pada bulan Muharram(dalam kalender Hijriyah) dan bulan Desember(dalam kalender Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang tahun kelahiran Syeikh Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari seorang penulis bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syeikh Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.[2]

Semua referensi yang membahas tentang Syeikh Nawawi al-Bantani nampaknya sepakat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1230 H, namun yang agak keliru dari apa yang dituliskan oleh Chaidar adalah mengenai tahun kelahirannya dalam tahun Masehi, yang kemudian menjadi sasaran kritikan  dari penulis lainnya seperti Yuyun Rodiana. Yuyun Rodiana mengatakan bahwa jika dilihat dari persesuaian antara tahun Hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H itu sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, jelasnya adalah bulan Muharam 1230 H sama dengan dengan bulan Desember 1814 M. Akan tetapi jika kelahiran Syeikh Nawawi al-Bantani ini adalah setelah bulan Muharram, maka tahun Masehinya adalah 1815 M, persisnya adalah antara bulan Januari dan November 1815 M.[3] Demikianlah mengenai tahun kelahiran Syeikh Nawawi al-Bantani, walaupun terjadi beberapa perbedaan, namun itu bukanlah perbedaan yang rumit, karena hanya berkisar pada masalah penetapan tahun Masehi saja. Beliau wafat di Mekah tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah bertepatan tahun 1897 M.

Syeikh Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi atau yang lebih dikenal dengan Kiai Nawawi Banten itu sebetulnya bernama asli Muhammad bin Umar Ali bin Arabi. Beliau disebut sebagai Kiai Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi karena beliau berasal dari Tanara, Banten dan tergolong sebagai Ulama’ Jawi atau Ulama’ yang berbangsa Melayu.[4] Namun ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan atas asal-usul nama panggilan yang dinisbatkan kepada Syeikh Nawawi ini adalah mengenai nama Nawawi, yang di sini penulis masih mempertanyakan dari mana nama Nawawi ini diambil, sementara jika kita lihat nama asli beliau adalah Muhammad. Jika yang kita ingin pertanyakan adalah  nama belakang beliau yang diimbuhi dengan kata at-Tanari al-Bantani al-Jawi, maka itu sudah tampak jelas bahwa nama itu diambil dari asal daerah tempat beliau dilahirkan. Lantas bagaimana dengan kata Nawawi itu sendiri?, ini adalah pertanyaan yang penulis rasa penting untuk didiskusikan.

a)      Riwayat pendidikan

Semenjak kecil Kiai Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan tentang keislaman langsung dari ayahnya yang bernama K.H. Umar. K.H. Umar ini juga dikenal sebagai salah satu ulama yang tinggal di desa Tanara. Jadi sebelum Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima pelajaran dari orang lain, ia terlebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh sang ayah yang juga dikenal sebagai ulama’. Selanjutnya beliau berguru kepada Kiai Sahal dan setelah itu beliau berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa Barat, hingga ia mencapai usia yang kelima belas.[5] Bersama Kiai Yusuf, beliau banyak belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab berikut ilmu Nahwu dan Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa beliau juga belajar ilmu-ilmu yang lainnya, hanya saja beliau lebih terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.

Setelah usianya mencapai 15 tahun beliau pun pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di sana serta berguru kepada para Ulama’ terkemuka seperti Syeikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati, ini berlangsung pada tahun 1830-1833 M. Jika kita perhatikan, bahwa kepergian beliau ke tanah suci Mekah itu terjadi pada saat usia beliau masih sangat muda. Dan di usia muda seperti ini, beliau telah belajar bersama para Ulama terkenal seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Tak hanya itu, beliau juga berguru kepada Syeikh Muhammad Khatib al-Hanbali di Madinah. Setelah menimba ilmu selama tiga tahun dan usia beliau genap mencapai 18 tahun, dikatakan bahwa beliau sempat pulang ke kampung halaman, membantu sang ayah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di pesantren. Nampaknya kondisi lingkungan yang sedang dikuasai oleh para penjajah Belanda tidak menyambut hangat kepulangan Syeikh Nawawi ke Banten. Oleh karena itu, beliau pun merasa tak betah untuk berlama-lama berada di Banten, dan segera memutuskan untuk kembali ke Mekah. Sebagian mengatakan bahwa beliau tinggal di Banten hanya beberapa bulan saja, sementara yang lain mengatakan bahwa beliau tinggal sampai tiga tahun, kemudian kembali ke Mekah dan kemudian tinggal di sana sampai akhir hayatnya.[6]

Sekembalinya ia ke Mekah, ia pun terus berguru kepada para ulama’, baik itu yang berasal dari Jawi maupun Timur tengah sampai tahun 1860. Di antara guru-gurunya yang dikenal adalah Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulawani, dan Syeikh Abd al-Hamid Daghestani (berasal dari Daghestan). Syeikh Ahmad Khatib Sambas yang menjadi salah satu guru beliau adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Sambas(Kalimantan Barat). Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini memiliki empat orang murid, ke empat murid itu adalah Syaikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, Syeikh Abdul Karim al-bantani dan yang terakhir adalah Syeikh Muhammad Khalil yang akhirnya menetap di daerah Bangkalan Madura dan wafat di sana. Dikatakan bahwa di antara ke empat murid Syeikh Sambas tersebut, Syeikh Nawawilah yang paling senior. Karena di samping beliau adalah sahabat seperguruan mereka, terkadang beliau juga menjadi guru mereka dalam hal-hal tertentu.[7]

Setelah lama 30 tahun lamanya beliau menimba ilmu bersama para ulama terkemuka, akhirnya beliaupun mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar sekaligus imam di Masjid al-Haram Mekah, kurang lebih selama 10 tahun. Dan selebihnya hari-hari beliau banyak dihabiskan untuk mengarang kitab dan mengajar serta mendidik para santri di rumahnya hingga akhir hayatnya.

b)     Karya-karya Syeikh Nawawi al-Bantani

Terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti tentang jumlah kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi ini. Di antaranya adalah pendapat yang diusung oleh J.A Sarkis(sarjana Belanda) yang mengatakan bahwa beliau telah menulis kitab sebanyak 39 kitab. Dan pendapat yang lain diusung oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri dan KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa beliau telah menulis lebih dari 100 buah kitab besar maupun kecil. Beliau merupakan salah satu ulama besar Nusantara yang kitabnya telah menjadi rujukan bagi instansi-instansi ternama dunia, seperti Universitas al-Azhar dan beberapa pesantren di Nusantara.

Banyak kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi al-Bantani, sebagian kitab tersebut berisi pembahasan lepas yakni tidak terkait dengan kitab-kitab lain, namun sebagian lainnya adalah kitab sebagai syarah dari kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. kitab-kitab hasil karangan Syeikh Nawawi al-Bantani kangkauan pembahasannya meliputi ilmu tauhid, fikih, tasawuf, hadits, nahwu, sharaf, fadhailul a’mal dan sebagainya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah Syarh al-Jurumiyah (1881), Tanqih al-Qaul (meluruskan pendapat) syarah atas kitab Lubab al-Hadits karya as-Suyuti. Dan lain sebagainya.

c)      Garis keturunan Syeikh Nawawi al-Bantani

Jika ditinjau dari segi nasab, maka akan kita ketahui bahwa nasab Syeikh Nawawi al-Bantani ini bersambung hingga Sunan Gunung Jati yang telah mashur dikenal sebagai salah satu wali penyebar islam di Nusantara. Dari Sunan Gunung Jati pun jika kita tinjau lebih jauh, maka garis keturunannya akan sampai kepada Rasulullah. Ayah Syaikh Nawawi al-Bantani ini bernama K.H. Umar yang merupakan salah satu ulama di desa Tanara dan juga sebagai pemimpin masjid serta pesantren di desa tersebut. Untuk lebih jelasnya, begini silsilah keluarganya: Syeikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Kiai Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arsyi(pangeran Suryararas) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidatuna Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah.[8]


[1] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, hlm. 9.

[2] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979). Hlm. 5.

[3] Yuyun Rodiana, “Syaikh Nawawi al-Bantani: Riwayat hidup dan sumbangannya terhadap islam”, 1990, skripsi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 12

[4] H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama’ Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan sejarah perjuangan 157 Ulama’ Nusantara, hlm. 653.

[5] Ibid, hlm. 653

[6] Ibid, hlm. 654

[7] Ibid. Hlm. 654

[8] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama’ Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, hlm. 15

Leave a comment